Indonesia
merupakan negara yang dianugerahi Tuhan dengan kekayaan sumber daya alam yang
menopang kehidupan masyarakatnya, mulai dari kekayaan bahari hingga kekayaan
hutan yang tak terbendung banyaknya. Persoalaan yang muncul hanyalah pada
sumber daya pengelolaan kekayaan tersebut hingga menjadi sesuatu yang
bermanfaat.
Salah satu dari kekayaan hutan
Indonesia yang cukup signifikan yakni tanaman sagu (Metroxylon). Mengapa
sagu termasuk kekayaan Indonesia? Sebab, dari total area hutan sagu di dunia,
Indonesia memiliki satu juta hektar hutan sagu yang tersebar di beberapa
provinsi atau menguasai 51.3% hutan sagu di dunia. Sebaran lahan pohon sagu
terbesar di Indonesia terdapat di beberapa wilayah yaitu Papua, Maluku, Riau,
Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
Dari luas hutan
sagu tersebut, secara matematis sagu ikut menyumbang pemasukan bagi Indonesia
dikisaran trilyunan rupiah. Berdasarkan hasil kajian dan pemetaan Forum Kerjasama
Agribisnis, jika Indonesia mau membudidayakan sagu dan memanfaatkan
pengelolaannya secara maksimal dalam memproduksi tepung sagu, maka dalam jangka
waktu sekali panen, industri tepung sagu dengan kisaran harga Rp. 2.400 per
kilo gramnya pun sudah mampu menyumbang pendapatan kotor dikisaran 4 trilyun
rupiah.
Selain itu,
banyak alasan strategis yang membuat sagu pantas meng-Indonesia, mulai dari
alasan filosofis, pemanfaat dan nilai guna, hingga alasan politis dan budaya.
Dalam artikel ini, saya akan membahas beberapa alasan strategis tersebut yang
menurut saya pantas membuat sagu begitu potensial.
Secara filosofi
hidup, Indonesia perlu meneladankan ketahanan hidup layaknya sagu. Mengapa
demikian? Dari sekian banyak permasalahan hidup yang mendera bangsa ini,
Indonesia perlu membangun ketahanan hidup agar tak mudah terkoyak. Jika belajar
dari karakteristik sagu dalam menopang hidupnya, sagu termasuk tanaman pangan
dengan ketahanan hidup yang memukau.
Biasanya, sagu
tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di
daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang
kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar
dengan kandungan tanah liat lebih dari 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan
sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan
kadar bahan organik tinggi.
Dari area
tumbuh seperti gambaran di atas, sagu mampu menghasilkan produk terbaiknya bagi
kebutuhan manusia. Padahal, risiko tanaman sagu di area tumbuh seperti itu juga
cukup rentan terhadap serangan hama dan ragam penyebab kerusakan lahannya. Pada
sagu usia muda (3-4 tahun) biasanya mulai dilakukan penyiangan gulma, sebab
gulma dapat menyebabkan kebakaran lahan kebun sagu. Dari gulma, juga dapat
menjelma menjadi hama perusak pohon sagu.
Dalam masa-masa
pertumbuhan, sagu mengalami gangguan mulai dari akar hingga dedaunannya. Akar
sagu akan mati jika pengairan dan tanah di rawah tidak menunjang untuk
pernapasan akar, akibatnya pohon sagu pun bisa mati yang mengakibatkan gagal
panen. Batang dan daun sagu juga sering terserang hama, ciri dari serangan hama
ini adalah, serangan sekunder setelah kumbang oryctes biasanya
meletakkan telur di luka bekas oryctes. Bila serangan terjadi pada
titik tumbuh, dapat menyebabkan kematian pohon.
Hama juga bukan
satu-satunya penghambat sagu dalam perjalanan hidupnya, dimasa rentannya antara
usia 1-4 tahun, sagu masih memiliki kemungkinan punah atau mati akibat serangan
hewan, seperti ulat artona, babi hutan, dan kera ((macaca irus)). Ulat
artona, selain merusak daun pada sagu, juga menyerang pada daging buah, ulat
daun ini menyerang jaringan dalam daun. Sedangkan babi hutan, berpotensi
merusak sagu pada masa semai dan sapihan, memakan pucuk batang yang masih muda.
Begitupun hewan kera (macaca irus), juga merusak sagu muda. Penyakit
yang biasanya terdapat pada tanaman sagu adalah bercak kuning yang disebabkan
oleh cendawan Cercospora. Gejala dari penyakit ini adalah daun
berbercak-bercak coklat.
Meski mendapat
banyak serangan dalam masa-masa pertumbuhannya, sagu mampu mengatasi
permasalahan itu secara biologis, memanfaatkan tumbuhan disekitarnya untuk
mengurangi tingkat serangan terhadap dirinya. Area rawa juga cukup
melindunginya dari serangan hewan perusak seperti babi dan kera. Dan keuntungan
lainnya, permasalahan sagu sudah tentu dapat ditangani secara mekanik atau
berdasarkan bantuan manusia dalam menjaga dan merawatnya.
Pemanfaatan Sagu
Dengan
kemungkinan tingkat kerusakan yang ada, sagu dapat tampil dengan postur
terbaiknya, tinggi menjulang lebih hingga 10 meter, terlebih tingkat
pemanfaatannya yang luar biasa besar. Di kampung kelahiran saya, Desa Kwaos,
Ambon, warga setempat memanfaatkan sagu bahan pangan primer maupun sebagai
bahan mentah pembuatan kerajinan tangan dan sebagainya.
Berikut
beberapa pemanfaatan sagu secara tradisional yang sering dilakukan oleh warga
desa di kampung saya, yakni: pertama, batang sagu dapat digunakan
sebagai saluran air untuk irigasi persawahan atau ladang, batang sagu dapat dibelah
lebih tipis untuk dijadikan papan alas saung di perkembunan, dan menjadikan
batang sagu sebagai pagar area perkebunan. Kedua, pati sagu dalam
batang dapat dikelola menjadi makanan tradisional sagu, tepung sagu, dan aneka
makanan seperti mie dan beragam jenis kue.
Ketiga, daun pohon sagu
dapat digunakan sebagai atap rumah. Daun-daun disulam dengan cara khusus,
dikeringkan, kemudian dijadikan atap rumah. Meski rumah di kampung saya sudah
cukup maju, menggunakan seng dan genteng, tapi ada saja beberapa warga yang
masih mempertahankan cara hidup tradisional dengan memanfaatkan daun sagu
sebagai atap rumah.
Pemanfaatan
modernnya, selain sebagai bahan campuran bagi soun, mie dan kerupuk yang
terdapat di restoran khas Maluku, sagu juga dibutuhkan bagi industri tekstil,
kertas, dan juga industri kosmetika. Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan
Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional saat ini mencapai 200.000 ton per
tahun atau baru mencapai sekitar 5 persen dari potensi sagu nasional.
Berdasarkan
kajian Forum Kerjasama Agribisnis, Indonesia memiliki potensi alam bagi
pengembangan sagu yang tidak dimiliki oleh benyak negara di dunia. Logika
pemanfaatannya, jika pemerintah menginvestasi dana senilai 1,3 trilyun rupiah
dengan grace period 12 tahun pada luas lahan 68.180 hektar, dengan
pendapatan kotor pada tahun pertama sebesar 4 trilyun rupiah, sebenarnya layak
untuk diwujudkan dan sangat menguntungkan. Apabila upaya ini dilakukan,
sebenarnya kita dapat sangat berkontribusi bagi pemenuhan pangan dunia. Untuk
pangan nasional, tentu pemanfaatan sagu sebagai komoditi pangan berkarbohidrat
juga ikut mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras yang saat ini diserap
hampir 80% oleh masyarakat Indonesia.
Selain sebagai
komoditi pangan, menurut pakar Sagu dari Institute Pertanian Bogor (IPB) Bogor,
Dr. Fredy Rumawas, bahan tepung Sagu dapat menghasilkan polimer terbaik guna
membuat plastik yang bisa terurai atau plastik yang mudah hancur di alam.
Sedangkan di pasaran internasional, tepung sagu digunakan sebagai bahan
substitusi tepung terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup berkadar fruktosa
tinggi, industri perekat, dan industri farmasi. Jadi, dengan satu juta lahan
sagu di Indonesia, sejatinya Indonesia mampu menjelma menjadi makmur.
Kesimpulannya,
secara umum pembudidayaan dan pemanfaatan sagu memberikan manfaat lebih bagi
Indonesia, baik pada taraf penigkatan ekonomi, kesejahteraan sosial, penyediaan
komoditi pangan nasional, hingga penyediaan lapangan kerja dan bisnis. Bahkan,
sagu secara budaya sudah menjadi bagian intim bangsa ini sebab keberadaan sagu
pada awalnya diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua.
Sagu juga
mencerminkan sikap, watak, dan karakter bangsa ini yakni mampu bertahan hidup
dalam keadaan terseok-seok akibat gangguan lingkungan global. Harapannya,
Indonesia kelak akan menjadi negara yang memberikan manfaat bagi masyarakat
global, nama bangsa ini akan tetap kokoh, menjulang tinggi meski diterpa badai
ujian yang bertubi-tubi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar